review jurnal asing


Judul jurnal                           : Discourse Analysis of the Dinar Currency System and the  Single Currency Agenda in the Gulf States
Volume & halaman               : Vol. 6. No. 3. September 2016
Tahun                                    : 2016
Penulis                                  : Aljadani Abdussalam , Mear Fred  and Raimi Lukman
Latar belakang                     :
Ketika emas ditemukan pada waktu tertentu dalam sejarah manusia, hal itu membuat logam menjadi tak ternilai harganya didambakan dan ditimbun oleh raja, kaisar dan pedagang makmur di periode abad pertengahan (Mundell 1997). Sebagai sistem moneter berkembang, sistem mata uang bimetallic ditinggalkan dan digantikan oleh
monometallisme yang merupakan penggunaan emas secara eksklusif untuk pertukaran finansial (Chown, 1994).
            Dengan pertumbuhan yang berkelanjutan Pengetahuan dan teknologi manusia, komoditas yang berbeda dikembangkan oleh masyarakat sebagai mata uang untuk memfasilitasi pertukaran yang didukung oleh emas (sebuah fenomena yang terakhir disebut standar emas). Standar emas efektif dalam mode dari tahun 1870an sampai Perang Dunia I pada tahun 1914. Dan pada tahun 1939, standar emas akhirnya ambruk sebagai global sistem mata uang (Chapra, 1996; Mundell, 1997).
            Secara retrospektif, ada tiga tahap evolusi sistem standar emas di sejarah ekonomi barat, yaitu: (a) Gold Coin Standard (GCS), Gold Bullion Standar (GBS) dan (c) Standar Pertukaran Emas (GES). GCS digambarkan sebagai sistem moneter yang memungkinkan koin emas sebagai pelelangan hukum yang beredar; GBS menggambarkan sistem dimana koin emas tidak beredar tapi otoritas moneternya diberdayakan untuk menjual emas batangan untuk mata uang lokal dengan tarif resmi; dan GES adalah sistem mata uang yang memungkinkan otoritas moneter untuk menukar mata uang domestik untuk Dolar AS yang dapat dikonversi menjadi emas pada paritas tetap.
            Dengan kata lain, Bretton Sistem Woods mempertahankan sistem nilai tukar tetap dengan semua mata uang yang terkait dengan emas, tapi hanya dolar AS yang bisa dikonversi secara langsung menjadi emas (Chapra, 1996).
Berkaitan dengan dunia Muslim, mata uang yang lazim di Negara Islam pertama dinar (emas) dan dirham (perak). Dinar adalah koin emas yang digunakan selama periode peradaban Islam sebagai mata uang resmi, sedangkan Dirham adalah koin perak yang menggantikan dan melengkapi Dinar (Hassan 1999; Raimi dan Mobolaji, 2008; Siegfried (2001 ).
            Emas telah memainkan peran sentral dalam sistem mata uang barat dan Islam. Robert Mundell menggarisbawahi pentingnya emas dalam ceramah berjudul 'Sistem Moneter Internasional di Indonesia tanggal 21st
Century: Bisakah Emas Membuat Comeback? "Bahwa:
"Kita tentu harus memeriksa hubungan emas dengan sistem moneter, tapi tidak masuk
rasa mistik apapun;beberapa dari yang sekarang telah ditumpahkan dari kuning
logam.Ada banyak pembicaraan di tahun 1970-an yang melarang emas, menanggalkannya
mistik dan kilau dan tentang emas sebagai komoditas seperti lainnya
komoditi.Tapi itu tidak benar-benar berhasil.Bahkan saat harga emas
melonjak di atas $ 850 per ounce, para bankir sentral menahannya seolah-olah hidup mereka atau karir bergantung padanya "(Mundell, 1997: 2).
            Meski, pada masa pembentukan negara Islam pertama (Madinah dan Makkah digabungkan)
Di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW, kedua sistem mata uang itu ada
Dinar dan Dirham, yang berasal dari Romawi (Kekaisaran Bizantium) dan Persia
(Kekaisaran Sassania) masing-masing ( Heidemann, 1998; Yaacob et al ., 2012). Menegaskan Fakta sebelumnya, Siegfried (2001: 320) menyatakan bahwa " pada zaman Nabi, umat Islam menggunakan logam mentah atau koin Bizantium sebagai uang. Dan emas itu (dinar), perak (dirham), dan tembaga (fals) ada Ketiga jenis logam yang digunakan untuk transaksi ekonomi.
Selama periode negara Islam pertama, pemerintah kurang peduli dengan perkembangan Sistem mata uangnya sendiri karena negara sedang menjalani proses nation-building, faith konsolidasi dan pengembangan yurisprudensi Islam mengenai isu sosio-ekonomi dan politik, maka tidak perlu mengubah sistem mata uang yang diwariskan, sebaliknya negara mengakui Dinar Romawi dan dirham Persia sebagai mata uang resmi umat Islam (Kamaru Salam, 2005;Yaacob dkk., 2012). Sistem mata uang yang lazim memungkinkan koin emas dan perak beredar tanpa hambatan.
            Penggunaan dinar di dunia Islam berakhir pada tahun 1924 sekuel jatuhnya Kekaisaran Ottoman Turki (Yaacob, 2009). Setelah itu beberapa panggilan dibuat untuk reintroduksi dinar tanpa banyak sukses Setelah bereksperimen dengan mata uang konvensional yang berbeda, negara-negara Muslim sedang mencoba adopsi ulang dinar tersebut sebagai mata uang tunggal.

TUJUAN                    :
 untuk membahas sejarah hubungan antara sistem mata uang dinar dan agenda mata uang tunggal di Negara-negara Teluk

METODE                   :
penelitian kualitatif

KELEBIHAN                        :
Pembahasan ini membahas secara lengkap tentang dinar dan dirham dari zaman nabi.

KEKURANGAN       :
Bahasa yang digunakan sulit dimengerti.

KESIMPULAN          :
Temuan dari analisis wacana menunjukkan bahwa ada sejarah yang kuat
hubungan antara sistem mata uang dinar dan sistem mata uang tunggal di Negara-negara Teluk karena hubungan agama dan kulturalnya dengan negara-negara Muslim terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara (sering disebut MENA). Implikasi dari makalah ini adalah bahwa panggilan modern pembentukan blok ekonomi dan politik di kawasan Teluk memiliki agama dan budaya koneksi dengan sistem mata uang dinar yang runtuh di Turki pada tahun 1929. Yang diusulkan Pengadopsian dinar sebagai mata uang tunggal di MENA adalah kemungkinan kompleks yang membutuhkan banyak prasyarat dan imperatif.



Jurnal;

Komentar

Postingan Populer